Ini cerita lama tentang wong edan
ketika masih berstatus pelajar di sebuah sekolah menengah atas. Dan
karena masih imut alangkah cocoknya kalau di cerita ini dia disebut Arek
Edan. Sebagai seorang pelajar yang bercita-cita jadi orang terpelajar,
Arek Edan berusaha untuk menjadi yang terbaik meski tidak dengan
maksimal yaitu dengan cara mengikuti pelajaran tambahan di sebuah
lembaga bimbingan belajar di kota separuh-darah tercintanya. Hampir
setiap hari sepulang sekolah Arek Edan bersama tiga orang temannya
berangkat ke LBB dengan mengendarai sepeda onthel, teman-teman yang oleh
teman lainnya sering disebut geng. Sebutan yang kurang tepat sebenarnya
karena geng biasanya dibentuk atas dasar persamaan keinginan atau
tujuan sedang geng yang satu ini jauh dari kata persamaan.
Arek Edan yang waktu itu berstatus
sebagai anak kos tinggal bersama seorang teman yang sebut saja Mawar,
bukan nama sebenarnya. Teman yang kedua juga kos tapi di rumah yang
berbeda, sebut saja namanya Melati. Teman yang ketiga tidak kos meski
rumahnya cukup jauh dari sekolah, dia sering menginap di kos Arek Edan
dan Mawar setiap kali menunggu waktu untuk belajar di LBB, sebut namanya
Anggrek. Mawar membawa sebuah sepeda onthel, begitu juga dengan Melati.
Cerita ini bermula dari suatu sore dimana keempat anak itu berangkat ke
LBB. Ada dua mata pelajaran hari itu, antar pelajaran ada jeda
istirahat tiga puluh menit.
Tiba di LBB setelah berboncengan, Mawar
dan Melati memarkir sepedanya bersebelahan. Pelajaran pertama bisa
dibilang berjalan lancar. Keempat anak tadi mengikuti pelajaran yang
diberikan mentor dengan pikiran dan hasil tangkapan masing-masing.
Sambil menunggu pelajaran berikutnya mereka melaksanakan ibadah, harus
antri karena tempatnya sangat sempit. Anggrek yang dari awal tidak
begitu mood memutuskan untuk tidak mengikuti pelajaran kedua. Dia
meminta Arek Edan mengantarnya ke jalan besar dimana dia biasa menunggu
angkot. Arek Edan pun menyetujui dan karena merasa sudah biasa, ada rasa
memiliki yang entah apa dasarnya, dia mengambil sepeda Melati tanpa
memberitahu terlebih dahulu.
Dua anak belia yang sedang mengalami
masa-masa indah SMA dengan segala kisah lucu yang cenderung tidak masuk
akal memanfaatkan benar waktu bersama untuk bercerita. Anggrek yang pada
saat itu ternyata sedang punya masalah seperti mendapat kesempatan
untuk mencurahkan isi hatinya. Jadilah waktu tiga puluh menit berlalu
tak terasa. Cangkruk di pinggir jalan dan mengabaikan angkot yang sudah
puluhan melintas, mereka melanjutkan cerita. Keinginan Anggrek untuk
pulang pudar sudah dan keinginan Arek Edan yang memang tinggal sedikit
untuk mengikuti pelajaran kedua sirna juga. Bolos adalah hal edan yang
lebih terlihat keren untuk anak-anak seusia mereka, tidak pernah bolos
mana bisa dibilang keren, jenis keedanan yang biasa diderita para
pelajar juga karyawan.
Arek Edan dan Anggrek semakin larut dalam
cerita yang semakin merembet kemana-mana, asal bisa tertawa, melepas
penat atas apa yang dirasakan kepala. Seharian menerima pelajaran yang
itu-itu saja dengan sistem pembelajaran yang tidak kreatif yang tidak
membuat mengerti tapi malah ngantuk, bosan (salah jurusan koyok’e).
Pulang dan harus menerima pelajaran lagi di LBB tentu sangat berat dan
sekali lagi membosankan untuk pelajar yang seadanya seperti Arek Edan.
Ada PR ya dikerjakan kalau bisa, kalau nggak ya besok pagi nyalin aja.
Ada ujian yang belajar kalau belum ngantuk, kalau ngantuk ya tidur saja
nggak usah maksa. Ada pelajaran ya dicatat kalau memang disuruh nyatat
dan nggak malas kalau nggak ya fotokopi saja.
Matahari terus bergulir, jam sudah
menunjukkan pukul lima sore tanda pelajaran kedua diakhiri. Mawar dan
Melati yang memang bukan anak sembarangan, pelajar yang masuk garda
depan karena rajin dan tekunnya yang bisa dibilang maksimal, bersiap
pulang. Sedang Arek Edan yang masih enak-enaknya nyangkruk bersama
Anggrek tidak menyadari kalau sesuatu sedang terjadi di LBB. Sampai
Mawar dan Melati mendatangi mereka. Kalau Arek Edan dan Anggrek bolos
memang bukan hal yang istimewa, raut mereka adalah penjahat yang
terbiasa dan biasa dijatuhi vonis tentang berbagai tuduhan tapi ketika
melihat sepeda yang bertengger di pinggir jalan itu masalahnya. Mawar
dan Melati tidak bisa menahan tawa, geli dan tidak tahu harus bicara
apa, malu mungkin lebih tepatnya.
“Heh sepeda’e sopo iku sing tok gowo?” tanya Melati.
“Lah kan sepedamu,” jawab Arek Edan.
Mendengar jawaban itu Mawar dan Melati
langsung tertawa. Arek Edan dan Anggrek yang tidak mengerti apa-apa
tampak bingung melihat dua temannya itu. Mawar bilang Arek Edan dicari
seorang anak smp di LBB dan saat ini anaknya sedang menangis. Awalnya
Arek Edan bingung apa masalahnya sampai Mawar menjelaskan apa yang
terjadi. Jadi selama Arek Edan menunggui Anggrek alias nyangkruk, di LBB
heboh karena ada salah seorang siswanya yang kehilangan sepeda. Anak
itu menangis karena takut pada orang tuanya dan karena posisinya yang
dekat dengan sepeda Mawar dan Melati mereka sempat bersitegang. Mawar
yang sedikit curiga jangan-jangan sepeda si anak dibawa Arek Edan
berusaha menepis keraguannya karena dia tidak melihat sendiri Arek Edan
membawa sepeda juga karena Arek Edan tidak bilang kalau meminjam sepeda.
Yang kemudian lebih memalukan bagi Mawar adalah ketika dia membela Arek
Edan dengan mengatakan tidak mungkin temannya itu yang mengambilnya. Si
anak yang kehilangan mungkin saking takutnya bahkan sempat ingin
mengambil sepeda Melati yang memang sangat mirip kecuali warna. Punya
Melati berwarna coklat sedang punya si anak smp warna hitam.
Mawar meminta Arek Edan kembali ke LBB
sendiri karena dia terlanjur malu dengan orang-orang disana yang sudah
pada heboh. Begitu juga Melati yang takut si anak smp mengambil
sepedanya selain juga ikut malu tentunya. Anggrek yang mendengar hanya
tertawa-tawa tanpa ada rasa ikut bersalah. Arek Edan yang sebelumnya
begitu pede kalau sepeda yang dia bawa adalah sepeda Melati mau tidak
mau harus kembali dan mempertanggungjawabkan perbuatannya. Dengan
mengendarai sepeda “colongan” dia kembali ke LBB. Dan benar saja si anak
masih menangis ditemani salah seorang mentor LBB. Begitu Arek Edan
datang dia langsung berteriak kalau itu sepedanya. Dengan malu tanpa
malu Arek Edan minta maaf atas keteledorannya, tidak lama karena si anak
langsung pulang takut kemalaman. Teman-teman Arek Edan yang tadi
menolak ikut hanya tertawa-tawa, tidak habis pikir.
Dari cerita ini ada beberapa pelajaran
yang bisa diambil jika kita simak dengan seksama tapi mungkin yang utama
adalah kalau mau nyolong ya sekalian aja jangan tanggung-tanggung,
malunya sama hukumannya bahkan kadang lebih berat jadi yang dicolong
jangan cuma sepeda. Colong aja gardu listrik terus pasang sendiri buat
rumahmu, kan enak rumahmu nggak akan kebagian pemadaman bergilir. Satu
lagi kalau memang niat nyolong ya langsung sembunyi, ke luar negeri kek,
jangan malah cangkrukan. Belum lagi hasil colongan dinikmati bisa-bisa
kamu babak belur dihajar massa
Posting Komentar