Diberdayakan oleh Blogger.

Latar Belakang Munculnya Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia
oleh:
Rudi Rudiana Suci Suhendi
Amirudin
Rahmat Herlikas

Pada awal perkembangan Islam di Indonesia, masjid merupakan satu-satunya pusat berbagai kegiatan; baik kegiatan keagamaan, sosial kemasyarakatan, termasuk kegiatan pendidikan. Bahkan kegiatan pendidikan yang berlangsung di masjid dan masih bersifat sederhana kala itu sangat dirasakan oleh masyarakat muslim, maka tidak mengherankan apabila mereka menaruh harapan besar kepada masjid sebagai tempat yang bisa membangun masyarakat muslim yang lebih baik. Awal mulanya masjid mampu menampung kegiatan pendidikan yang diperlukan masyarakat. Namun karena terbatasnya
tempat dan ruang, mulai dirasakan tidak dapat menampung animo masyarakat yang ingin belajar. Maka dilakukanlah berbagai pengembangan secara bertahap hingga berdirinya lembaga pendidikan Islam yang secara khusus berfungsi sebagai sarana menampung kegiatan pembelajaran sesuai dengan tuntutan masyarakat saat itu. Dari sinilah mulai muncul istilah surau, meunasah, dayah, dan juga pesantren.
1- Surau
Istilah surau sebagai lembaga pendidikan Islam muncul di Minangkabau, bahkan istilah ini sudah dikenal sebelum datangnya Islam. Surau dalam sistem adat Minangkabau adalah kepunyaan suku atau kaum sebagai pelengkap rumah gadang yang berfungsi sebagai tempat bertemu, berkumpul, rapat, dan tempat tidur bagi anak laki-laki yang telah akil baligh dan orangtua yang uzur. Karena menurut ketentuan adat Minangkabau bahwa laki-laki yang tak punya kamar di rumah orangtua mereka, diharuskan tidur di surau. Kenyataan ini menyebabkan surau memiliki peranan penting dalam pendewasaan generasi Minangkabau; baik dari segi ilmu pengetahuan maupun keterampilan praktis lainnya.
Setelah Islam datang, fungsi surau tidak berubah, hanya saja fungsi keagamaannya semakin penting yang diperkenalkan pertama kali oleh Syeikh Burhanuddin di Ulakan, Pariaman. Pada masa itu, eksistensi surau di samping sebagai tempat shalat juga digunakan Syekh Burhanuddin sebagai tempat mengajarkan ajaran Islam, khususnya tarekat (suluk) yang dikenal dengan nama tarekat Sattariyah. Melalui tarekat ini, Syekh Burhanuddin menanamkan ajaran Islam kepada masyarakat luas di sekitar Minangkabau.
Semula, lembaga pendidikan surau ini hanya mengajarkan metode membaca Al-Qur�an dan beberapa ilmu Islam seperti aqidah, akhlak, dan ibadah. Waktunyapun dilaksanakan pada malam hari dengan sistem halaqah. Namun secara bertahap sesuai perkembangan zaman, eksistensi surau sebagai lembaga pendidikan Islam mengalami kemajuan, termasuk waktu pelaksanaan kegiatan belajar tidak lagi hanya pada malam hari saja, tapi sudah dilakukan pada siang hari. Dan sedikitnya ada dua jenjang pendidikan surau pada era ini, yaitu:
(1) Pengajaran Al-Qur�an.
Untuk mempelajari Al-Qur�an ada dua macam tingkatan, yakni:
a- Pendidikan Rendah, materi pelajaran pada pendidikan rendah ini mencakup:
  • pelajaran memahami ejaan huruf Al-Qur�an dan membaca Al-Qur�an yang dilaksanakan dengan metode praktik dan latihan;
  • pelajaran cara berwudhu dan tata cara shalat yang dilakukan dengan metode praktik dan menghafal;
  • pelajaran tentang keimanan, terutama yang berhubungan dengan sifat dua puluh yang dipelajari dengan metode menghafal melalui lagu.
  • pelajaran akhlak yang dilakukan dengan metode cerita tentang Nabi-Nabi dan orang-orang shaleh.
b- Pendidikan Atas;
Materi pelajaran pada pendidikan atas ini mencakup pendidikan membaca Al-Qur�an dengan lagu, kasidah, barzanji, tajwid, dan kitab perukunan.
Lama pendidikan untuk kedua jenis pendidikan tersebut tidak ditentukan. Seorang siswa baru dapat dikatakan tamat bila ia telah mampu menguasai setiap materi yang diajarkan dengan baik.
(2) Pengajian Kitab.
Materi pendidikan pada jenjang ini meliputi: ilmu nahwu dan shorf, ilmu fikih, ilmu tafsir, dan ilmu-ilmu lainnya. Metode pengajarannya adalah dengan membaca sebuah Kitab Arab dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu, setelah itu baru diterangkan maksudnya. Adapun penekanan pembelajaran pada jenjang ini mengandalkan kekuatan hafalan. Maka agar siswa mampu menghafal dengan cepat, metode pengajarannya dilakukan melalui cara melafalkan materi dengan lagu-lagu.
Sebagai lembaga pendidikan Islam, posisi surau sangat strategis baik dalam proses pengembangan Islam maupun pemahaman terhadap ajaran-ajaran Islam. Bahkan surau telah mampu mencetak para ulama besar Minangkabau dan menumbuhkan semangat nasionalisme, terutama dalam mengusir penjajah Belanda. Namun, seiring perkembangan zaman, metode pengajaran surau dianggap sudah ketinggalan zaman, sehingga harus dimodernisasi. Maka tak heran, bila pendidikan surau saat ini sangat sulit dijumpai.
2- Meunasah
Istilah meunasah sebagai lembaga pendidikan Islam dikenal pada masyarakat Aceh. Sebagian orang mengatakan bahwa istilah meunasah ini berasal dari kata Arab, yaitu Madrasah. Meunasah secara fisik merupakan satu bangunan yang terdapat di setiap gampong yang berbentuk seperti rumah panggung tetapi tidak mempunyai jendela dan bagian-bagian lain. Bangunan ini digunakan sebagai tempat belajar dan berdiskusi serta membicarakan masalah-masalah yang berhubungan dengan kemasyarakatan. Sama seperti kebiasaan anak laki-laki di Minangkabau yang tinggal di surau, maka para anak muda serta laki-laki yang belum menikah di Aceh juga menjadikan meunasah sebagai tempat bermalam mereka. Sehingga tak heran, bila setiap meunasah memfasilitas diri dengan beberapa rumah tinggal yang terletak di sekitar meunasah dengan dilengkapi sumur, bak mandi, dan WC. Di sinilah anak-anak sejak usia dini di gampong, dididik dengan berbagai ilmu pengetahuan agama dan kemasyarakatan.
Meunasah dipimpin oleh seorang teungku meunasah. Biasanya, setiap kampung di Aceh memiliki minimal satu meunasah. Gampong yang memiliki beberapa meunasah, tetap dipimpin oleh satu teungku, sebagai pasangan dua sejoli dengan keuchik. Maksudnya, walau dalam gampong terdapat beberapa meunasah, kedudukan keuchik dan teungku meunasah tetap seperti ayah dan ibu (yah dan ma) yang memiliki tugas dan wewenang masing-masing serta saling membantu satu sama lain.
Mengenai peran meunasah, Syofwan Idris (2001) sebagaimana yang dikutip oleh Sulaiman Tripa dalam artikel yang dimuat di http://www.acehinstitute.org menyebutkan bahwa Meunasah sebenarnya bukan saja lembaga pendidikan tetapi merupakan lembaga yang banyak sekali fungsinya dalam masyarakat gampong. Di sini orang mengaji, berjama�ah, bermusyawarah, mengadili pencuri, mengadakan dakwah, mengadakan kenduri, sebagai pos keamanan dan tempat tidur anak muda yang belum kawin, dan duda yang berpisah dengan isterinya. Dan lembaga seperti ini memberikan pendidikan yang sangat komprehensif, aktual dan terpadu kepada anak-anak.
Sebenarnya dalam budaya adat Aceh, peran meunasah dan masjid merupakan satu kesatuan yang tak pernah bisa dipisahkan. Kedua lembaga ini merupakan simbol/logo identitas keacehan yang telah berkontribusi fungsinya membangun pola dasar SDM masyarakat menjadi satu kekuatan semangat yang monumental, historis, herois dan sakralis. Fungsi lembaga ini memiliki muatan nilai-nilai aspiratif, energis, Islamis, menjadi sumber inspiratif, semangat masyarakat membangun penegakan keadilan dan kemakmuran serta menentang kedhaliman dan penjajahan. Fungsi-fungsi itu antara lain :
  1. Fungsi Meunasah, sebagai tempat ibadah/shalat berjamaah; dakwah dan diskusi; musyawarah/mufakat; penyelesaian sengketa/damai; pengembangan kreasi seni; pembinaan dan posko generasi muda; forum asah terampil/olahraga; serta sebagai pusat ibukota/pemerintahan gampong.
  2. Fungsi Mesjid, sebagai tempat ibadah/Jum`at; pengajian pendidikan; musyawarah/ penyelesaian sengketa/damai; dakwah; pusat kajian dan sebaran ilmu; acara pernikahan; serta sebagai simbol persatuan dan kesatuan umat.
Dari poin-poin di atas menunjukkan bahwa fungsi meunasah dan masjid memiliki peran yang sama, yakni sebagai lembaga pengkaderan dan pembinaan umat yang diharapkan mampu melahirkan generasi serta masyarakat berkualitas guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat yang aman damai, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur.
Sebagai lembaga pendidikan tingkat dasar, keberadaan meunasah sangat mempunyai arti di Aceh. Semua orangtua memasukkan anaknya ke meunasah. Dengan kata lain, meunasah merupakan madrasah wajib belajar bagi masyarakat Aceh masa lalu. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila orang Aceh mempunyai fanatisme agama yang tinggi. Dan bahkan hingga saat ini, eksistensi meunasah tetap dipertahankan sebagai lembaga pendidikan Islam non formal.
Selain meunasah, di Aceh juga sudah ada dan berkembang sejak lama lembaga pendidikan Islam yang bernama �Dayah�. Dayah adalah kata yang digunakan untuk sebuah lembaga pendidikan Islam yang sama dan setara dengan pesantren. Dan sehubungan dengan kesamaan makna dan fungsi antara dayah dan pesantren, maka untuk pembahasan mengenai �dayah� akan penulis rangkumkan dalam pembahasan pesantren.
3- Pesantren
Menurut asal katanya, pesantren berasal dari kata santri yang mendapat imbuhan awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan tempat. Dengan demikian, pesantren artinya tempat para santri. Sedangkan menurut Sudjoko Prasojo bahwa Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non-klasikal, dimana seorang kiayi mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Bagi masyarakat Aceh, istilah pesantren lebih dikenal dengan nama �dayah�.
Pesantren adalah lembaga pendidikan Islam asli Indonesia dan memiliki akar sangat kuat dalam kehidupan masyarakat. Keberadaan sistem pendidikan pesantren bahkan telah ada jauh sebelum kedatangan Islam di negeri ini, yaitu pada masa Hindu-Budha. Pada saat itu pesantren merupakan lembaga pendidikan keagamaan yang berfungsi mencetak elit agama Hindu-Budha. Sehingga dalam hal ini tak heran bila C.C. Berg berpendapat bahwa istilah �santri� itu berasal kata India Shastri, berarti orang-orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab suci Agama Hindu. Kata Shastri sendiri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku Agama atau pengetahuan. Terlepas benar tidaknya istilah tersebut, yang jelas kehadiran lembaga pendidikan pesantren tidak dapat dipisahkan dari tuntutan umat Islam hingga saat ini, serta telah menjadi pusat berlangsungnya proses pembelajaran ilmu-ilmu keislaman bagi masyarakat Indonesia. Bahkan dalam perspektif kependidikan, pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan yang tahan terhadap berbagai arus modernisasi. Dengan kata lain, pesantren dapat memposisikan dirinya sebagai lembaga pendidikan yang mampu bersaing dan sekaligus bersanding dengan sistem pendidikan modern yang bermunculan dari waktu ke waktu.
Bertitik tolak dari akar sejarah pesantren atau sebut saja asal-usul pesantren tidak bisa dipisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang unik di Indonesia. Walisongo adalah tokoh-tokoh penyebar Islam di Jawa abad 16 � 15 yang telah berhasil mengkombinasikan aspek-aspek sekuler dan spiritual dalam memperkenalkan Islam pada masyarakat. Keunikan yang dimaksud adalah hampir semua pesantren di Indonesia ini dalam mengembangkan pendidikan kepesantrenannya berkiblat pada ajaran Walisongo. Kemudian seiring perkembangan zaman dan keilmuwan yang dimiliki oleh para pendiri pesantren sesudahnya, maka corak pesantren-pesantren di Indonesia mulai terlihat bervariasi.
Meski begitu, secara umum ciri-ciri pesantren dapat kita lihat sebagai berikut:
  • ada Kiyai, yang mengajar dan mendidik;
  • ada santri, yang belajar dari kiyai;
  • ada masjid, tempat untuk menyelenggarakan pendidikan, shalat berjamaah dan sebagainya; dan
  • ada pondok, tempat untuk tinggal para santri.
Di samping ciri-ciri di atas, ada juga pesantren yang memiliki fasilitas-fasilitas pendukung lainnya, seperti sarana olahraga dan ruang keterampilan dan pelatihan, yang tentunya disesuaikan dengan kebutuhan dan kemampuan pesantren itu sendiri.
Mengenai materi pelajaran dan metode pengajaran, biasanya pesantren mengajarkan kitab-kitab dalam bahasa Arab (kitab kuning), materi tersebut mencakup pelajaran Al-Qur�an, tajwid serta tafsir, aqa�id dan ilmu kalam, fiqih dan ushul fiqh, hadits dan musthalahul hadits, bahasa Arab dengan ilmu-ilmu qawaidhnya, tarikh, mantiq dan tasawuf. Dan metode yang digunakan adalah metode ceramah, hafalan, bahkan ada juga yang menggunakan sistem klasikal dengan metode pembelajaran yang bervariasi. Di beberapa pesantren, ada yang selain memberikan pelajaran dan pendidikan agama, juga memberikan wiridan, seperti Naqsabandiyah, Syatariyah, dan lain-lain. Ada pula yang menambahkan kegiatan-kegiatan di luar pendidikan formal, seperti pramuka, ketrampilan, olahraga dan sebagainya, sesuai kemampuan masing-masing pondok pesantren. Meski begitu, satu hal yang sama dari pondok-pondok pesantren tersebut adalah pada penekanan pendidikan dan pengajaran agama Islam, yang menjadi ciri khas dari pesantren tersebut.
Selain itu, ada beberapa ciri dan keunikan yang sangat menonjol dalam kehidupan pesantren, sehingga membedakannya dengan sistem pendidikan lainnya. Sedikitnya ada delapan ciri pendidikan pesantren tersebut, yaitu:
  • Adanya hubungan yang akrab antara santri dan kiayi.
  • Tunduknya santri kepada kiyai.
  • Hidup hemat dan sederhana.
  • Semangat hidup mandiri.
  • Jiwa tolong menolong dan suasana persaudaraan.
  • Penekanan pada pendidikan disiplin.
  • Berani menderita untuk mencapai suatu tujuan.
  • Santri memperoleh kehidupan agama yang baik.
Sebagai lembaga pendidikan yang masih eksis hingga hari ini, pesantren memiliki banyak PR dan tantangan dalam menghadapi arus informasi dan globalisasi yang dewasa ini susah terbendung. Dalam kondisi seperti itu, pesantren tidak boleh menutup diri dari arus perubahan, namun tidak boleh juga terbawa dan tergilas oleh arus perubahan tersebut, melainkan harus mampu memposisikan diri secara proporsional. Sehingga dengan begitu, pesantren tetap mampu hadir di setiap zaman tanpa harus merubah warna dan baju yang menjadi simbol serta karakteristiknya. Dengan peran strategis pesantren yang terus dipertahankan, diharapkan dapat mengembalikan kejayaan umat Islam yang pernah menyinari dunia dengan ilmunya.
Kebangkitan Pesantren-Pesantren Modern
Sudah banyak diketahui bahwa peran pesantren secara konvensional adalah melakukan proses transfer ilmu agama Islam, mencetak kader-kader ulama�, dan mempertahankan tardisi. Dalam perkembangan modern, pesantren-pesantren menghadapi tantangan baru, di mana tidak bisa mengelak lagi dari proses modernisasi dewasa ini. Dampak dari modernisasi setidaknya mempengaruhi pesantren tersebut dari berbagai aspek. Di antaranya adalah sistem kelembagaan, orientasi hubungan kiyai-santri, kepemimpinan dan peran pesantren itu sendiri.
Orientasi peran pesantren sangat dipengaruhi oleh faktor internal pesantren, terutama pandangan dunia kiyainya; dan faktor ekstrenal, yaitu perkembangan dan tuntutan zaman (sebut saja pengaruh globalisasi). Dan kedua faktor inilah yang mempengaruhi perkembangan dan orientasi pesantren tersebut.
Beberapa pesantren yang awalnya hanya mengajarkan kitab-kitab kuning dan bertujuan mencetak kader ulama�, kemudian berubah dengan menawarkan sekolah formal, seperti madrasah atau sekolah; adalah bukti bahwa pesantren telah mengalami perubahan orientasi. Perubahan ini terutama sekali dipengaruhi oleh faktor kiyai, yang dalam pesantren tradisional adalah pemilik sekaligus pemimpin absolut dari pesantren tersebut. Persinggungan kiyai-kiyai tradisional dengan budaya luar, baik melalui ibadah haji maupun kegiatan lainnya, turut menyumbangkan gagasan pembaruan yang dilakukan kiyai. Para Kiyai yang sudah �modern� itu beranggapan bahwa santri tidak cukup dibekali dengan pengetahuan agama semata, melainkan harus memiliki tambahan pengetahuan yang bermanfaat bagi kehidupannya ketika terjun dan kembali kemasyarakat
Beberapa pesantren yang membuka sekolah dan madrasah formal, selain karena gagasan pembaruan kiyai, juga disebabkan karena tuntutan zaman. Oleh karenanya pesantren-pesantren yang membuka sekolah dan madrasah sedikit banyak dipengaruhi oleh kebutuhan masyarakat tentang tenaga profesional yang memiliki akhlak mulia. Dan agar terlihat berbeda dengan pesantren tradisional, mereka meletakkan kata �modern� pada penyebutan nama pesantren tersebut.
Sesungguhnya dalam perkembangan modern seperti saat ini, tuntutan peran pesantren semakin kompleks. Problem-problem sosial ekonomi yang terjadi di masyarakat, seperti masalah disintegrasi, kemiskinan, kemunduran akhlak sudah semakin terbuka dan merajalela di masyarakat. Pesantren diharapkan tidak saja mampu menyelesaikan masalah-masalah yang terkait dengan faham keagamaan, tetapi juga diharapkan dapat terlibat menyelesaikan masalah-masalah sosial tersebut. Dan sejauh pengamatan penulis, pesantren yang berlogokan modern ini memiliki banyak peluang dan kesempatan untuk terlibat aktif dalam menuntaskan berbagai problematika masyarakat. Apalagi pesantren modern ini memiliki kedekatan emosional dengan masyarakat karena sifat egalitar dan kesahajaannya yang memungkinkannya dapat berinteraksi secara intensif dengan masyarakat. ( by: Indra El Muda )
<><><><> 
DAFTAR PUSTAKA
Ali, H.A. Mukti, Beberapa Persoalan Agama Dewasa Ini, Jakarta: Rajawali Pers, 1987
Daud, Zahrul Bawady, Dayah Bukan Institute Alternatif, Aceh Institute: Riset & Artikel, http://id.acehinstitute.org
Daulay, Haidar Putra, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia,Jakarta: Kencana Prenada Media Group, Cet. II, 2007
Haningsih, Sri, Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia, Jurnal Pendidikan Islam El-Tarbawi, No. 1, vol. I, 2008
Nasution, Hasan Mansur, (Editor), Masjid, Agama, dan Pendidikan untuk Kemajuan Bangsa,Bandung: Ciptapusaka Media Perintis, 2009
Nata, Abuddin (Editor), Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001
Subhan, Arief, Mencari Titik Tolak: Asal Usul Pesantren, Ciputat: Jurnal Madrasah Vol 2, No. 4, 1999
Tripa, Sulaiman, Meunasah, Ruang Serbaguna Masyarakat Aceh, Aceh Institute: Riset & Artikel,  http://www.acehinstitute.org
Zulfah, Kedudukan Meunasah dan Masjid Dalam Sistem Sosial Masyarakat Aceh, Aceh Forum Community: http://www.acehforum.or.id

Abdulrahman Saleh Biografi

Abdulrahman Saleh Biografi. Jagat Biografi kali ini akan mempublish pahlawan nasional yaitu Abdulrahman Saleh, Prof. dr. Sp.F, Marsekal Muda Anumerta, (lahir di Jakarta, 1 Juli 1909 � meninggal di Maguwoharjo, Sleman, 29 Juli 1947 pada umur 38 tahun) atau sering dikenal dengan nama julukan "Karbol" adalah seorang pahlawan nasional Indonesia, tokoh Radio Republik Indonesia (RRI) dan bapak fisiologi kedokteran Indonesia.

Abdulrachman Saleh dilahirkan pada tanggal 1 Juli 1909 di Jakarta. Pada masa mudanya, ia bersekolah di HIS (Sekolah rakyat berbahasa Belanda atau Hollandsch Inlandsche School) MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs) atau kini SLTP, AMS (Algemene Middelbare School) kini SMU, dan kemudian diteruskannya ke STOVIA (School Tot Opleiding van Inlandsche Artsen). Karena pada saat itu STOVIA dibubarkan sebelum ia menyelesaikan studinya di sana, maka ia meneruskan studinya di GHS (Geneeskundige Hoge School), semacam sekolah tinggi dalam bidang kesehatan atau kedokteran. Ayahnya, Mohammad Saleh, tak pernah memaksakannya untuk menjadi dokter, karena saat itu hanya ada STOVIA saja. Ketika ia masih menjadi mahasiswa, ia sempat giat berpartisipasi dalam berbagai organisasi seperti Jong Java, Indonesia Muda, dan KBI atau Kepanduan Bangsa Indonesia.

Setelah ia memperoleh ijazah dokter, ia mendalami pengetahuan ilmu faal. Setelah itu ia mengembangkan ilmu faal ini di Indonesia. Oleh karena itu, Universitas Indonesia pada 5 Desember 1958 menetapkan Abdulrachman Saleh sebagai Bapak Ilmu Faal Indonesia.

Ia juga aktif dalam perkumpulan olah raga terbang dan berhasil memperoleh ijazah atau surat izin terbang. Selain itu, ia juga memimpin perkumpulan VORO (Vereniging voor Oosterse Radio Omroep), sebuah perkumpulan dalam bidang radio. Maka sesudah kemerdekaan diproklamasikan, ia menyiapkan sebuah pemancar yang dinamakan Siaran Radio Indonesia Merdeka. Melalui pemancar tersebut, berita-berita mengenai Indonesia terutama tentang proklamasi Indonesia dapat disiarkan hingga ke luar negeri. Ia juga berperan dalam mendirikan Radio Republik Indonesia yang berdiri pada 11 September 1945.

Setelah menyelesaikan tugasnya itu, ia berpindah ke bidang militer dan memasuki dinas Angkatan Udara Ia diangkat menjadi Komandan Pangkalan Udara Madiun pada 1946. Ia turut mendirikan Sekolah Teknik Udara dan Sekolah Radio Udara di Malang. Sebagai Angakatan Udara, ia tidak melupakan profesinya sebagai dokter, ia tetap memberikan kuliah pada Perguruan Tinggi Dokter di Klaten, Jawa Tengah.

Pada saat Belanda mengadakan agresi pertamanya, Adisutjipto dan Abdulrachman Saleh diperintahkan ke India. Dalam perjalanan pulang mereka mampir di Singapura untuk mengambil bantuan obat-obatan dari Palang Merah Malaya. Keberangkatan dengan pesawat Dakota ini, mendapat publikasi luas dari media massa dalam dan luar negeri.

Tanggal 29 Juli 1947, ketika pesawat berencana kembali ke Yogyakarta melalui Singapura, harian Malayan Times memberitakan bahwa penerbangan Dakota VT-CLA sudah mengantongi izin pemerintah Inggris dan Belanda. Sore harinya, Suryadarma, rekannya baru saja tiba dengan mobil jip-nya di Maguwo. Namun, pesawat yang ditumpanginya ditembak oleh dua pesawat P-40 Kitty-Hawk Belanda dari arah utara. Pesawat kehilangan keseimbangan dan menyambar sebatang pohon hingga badannya patah menjadi dua bagian dan akhirnya terbakar.

Peristiwa heroik ini, diperingati TNI AU sebagai hari Bakti TNI AU sejak tahun 1962 dan sejak 17 Agustus 1952, Maguwo diganti menjadi Lanud Adisutjipto.

Abulrachman Saleh dimakamkan di Yogyakarta dan ia diangkat menjadi seorang Pahlawan Nasional berdasarkan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No.071/TK/Tahun 1974, tanggal 9 Nopember 1974.

Pada tanggal 14 Juli 2000, atas prakarsa TNI-AU, makam Abdulrahman Saleh, Adisucipto, dan para istri mereka dipindahkan dari pemakaman Kuncen ke Kompleks Monumen Perjuangan TNI AU Dusun Ngoto, Desa Tamanan, Banguntapan, Bantul, DI Yogyakarta.

Nama Ia diabadikan sebagai nama Pangkalan TNI-AU dan Bandar Udara di Malang. Selain itu, piala bergilir yang diperebutkan dalam Kompetisi Kedokteran dan Biologi Umum (Medical and General Biology Competition) disebut Piala Bergilir Abdulrahman Saleh.

Mengharapkan semua lulusan Akademi Angkatan Udara dapat mencontoh keteladanan dan mampu mencapai kualitas seorang perwira seperti Abdulrachman Saleh, para taruna AAU dipanggil dengan nama Karbol. Hal ini pertama kali diusulkan oleh Letkol Saleh Basarah setelah beliau mengunjungi United States Air Force Academy di Colorado Springs, Amerika Serikat. Para kadet di sana dipanggil dengan nama Dollies, nama kecil dari Jenderal USAF James H Doollitle, seorang penerbang andal yang serba bisa. Ia penerbang tempur Amerika Serikat yang banyak jasanya pada Perang Dunia I.

Abdoel Moeis Biografi

Abdoel Moeis Biografi. Abdoel Moeis (lahir di Sungai Puar, Agam, Sumatera Barat, 3 Juli 1883 � meninggal di Bandung, Jawa Barat, 17 Juni 1959 pada umur 75 tahun) adalah seorang sastrawan, politikus, dan wartawan Indonesia. Dia merupakan pengurus besar Sarekat Islam dan pernah menjadi anggota Volksraad mewakili organisasi tersebut. Abdul Muis dikukuhkan sebagai Pahlawan Nasional yang pertama oleh Presiden RI, Soekarno, pada 30 Agustus 1959

Abdul Muis adalah seorang Minangkabau, putra Datuk Tumangguang Sutan Sulaiman. Ayahnya merupakan seorang demang yang keras menentang kebijakan Belanda di dataran tinggi Agam. Selesai dari ELS, Abdul Muis melanjutkan pendidikannya ke Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Jakarta. Namun karena sakit, ia tidak menyelesaikan pendidikannya di sana.

Abdul Muis memulai kariernya sebagai klerk di Departemen Onderwijs en Eredienst atas bantuan Mr. Abendanon yang saat itu menjabat sebagai Direktur Pendidikan. Namun pengangkatannya itu tidak disukai oleh karyawan Belanda lainnya. Setelah dua setengah tahun bekerja di departemen itu, ia keluar dan menjadi wartawan di Bandung.[2] Pada tahun 1905, ia diterima sebagai anggota dewan redaksi majalah Bintang Hindia. Kemudian ia sempat menjadi mantri lumbung, dan kembali menjadi wartawan pada surat kabar Belanda Preanger Bode dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim.

Pada tahun 1913 ia bergabung dengan Sarekat Islam, dan menjadi Pemimpin Redaksi Harian Kaoem Moeda. Setahun kemudian, melalui Komite Bumiputera yang didirikannya bersama Ki Hadjar Dewantara, Abdul Muis menentang rencana pemerintah Belanda mengadakan perayaan peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis.

Tahun 1917 ia dipercaya sebagai utusan Sarekat Islam pergi ke negeri Belanda untuk mempropagandakan komite Indie Weerbaar. Dalam kunjungan itu, ia juga mendorong tokoh-tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School � Institut Teknologi Bandung (ITB) di Priangan. Pada tahun 1918, Abdul Muis ditunjuk sebagai anggota Volksraad mewakili Central Sarekat Islam.

Bulan Juni 1919, seorang pengawas Belanda di Toli-Toli, Sulawesi Utara dibunuh setelah ia berpidato disana. Abdul Muis dituduh telah menghasut rakyat untuk menolak kerja rodi, sehingga terjadi pembunuhan tersebut. Atas kejadian itu dia dipersalahkan dan dipenjara. Selain berpidato ia juga berjuang melalui berbagai media cetak. Dalam tulisannya di harian berbahasa Belanda De Express, Abdul Muis mengecam seorang Belanda yang sangat menghina bumiputera.[rujukan?]

Pada tahun 1920, dia terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian. Setahun kemudian ia memimpin pemogokan kaum buruh di Yogyakarta. Tahun 1923 ia mengunjungi Padang, Sumatera Barat. Disana ia mengundang para penghulu adat untuk bermusyawarah, menentang pajak yang memberatkan masyarakat Minangkabau. Berkat aksinya tersebut ia dilarang berpolitik. Selain itu ia juga dikenakan passentelsel, yang melarangnya tinggal di Sumatera Barat dan keluar dari Pulau Jawa. Kemudian ia diasingkan ke Garut, Jawa Barat. Di kota ini ia menyelesaikan novelnya yang cukup terkenal : Salah Asuhan.

Tahun 1926 ia terpilih menjadi anggota Regentschapsraad Garut. Dan enam tahun kemudian diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur. Jabatan itu diembannya hingga Jepang masuk ke Indonesia (1942).

Setelah kemerdekaan, ia mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan yang fokus pada pembangunan di Jawa Barat dan masyarakat Sunda Tahun 1959 ia wafat dan dimakamkan di TMP Cikutra, Bandung.

K.H. Abdul Halim Biografi

K.H. Abdul Halim Biografi. K.H. Abdul Halim (lahir di Majalengka, Jawa Barat, 26 Juni 1887 � meninggal 17 Mei 1962 pada umur 74 tahun) adalah pahlawan Indonesia yang berjuang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia hingga mempertahankan dari Agresi Militer Belanda. Dalam mempertahankan kemerdekaan Abdul Halim berbasis di Gunung Ceremai untuk menghadapi Agresi Militer Belanda II dengan berperang gerilya. Ia memimpin dalam penghadangan militer Belanda di wilayah Keresidenan Cirebon. Ia, ikut dalam BPUPKI dalam rangka persiapan kemerdekaan Indonesia sebagai anggota BPUPKI.

Ismail Marzuki Biografi

Ismail Marzuki Biografi. Ismail Marzuki (lahir di Kwitang, Senen, Batavia, 11 Mei 1914 � meninggal di Kampung Bali, Tanah Abang, Jakarta, 25 Mei 1958 pada umur 44 tahun) adalah salah seorang komponis besar Indonesia. Namanya sekarang diabadikan sebagai suatu pusat seni di Jakarta yaitu Taman Ismail Marzuki (TIM) di kawasan Salemba, Jakarta Pusat.

Ismail Marzuki lahir dan besar di Jakarta dari keluarga Betawi.

Lagu ciptaan karya Ismail Marzuki yang paling populer adalah Rayuan Pulau Kelapa yang digunakan sebagai lagu penutup akhir siaran oleh stasiun TVRI pada masa pemerintahan Orde Baru.

Ismail Marzuki mendapat anugerah penghormatan pada tahun 1968 dengan dibukanya Taman Ismail Marzuki, sebuah taman dan pusat kebudayaan di Salemba, Jakarta Pusat. Pada tahun 2004 dia dinobatkan menjadi salah seorang tokoh pahlawan nasional Indonesia.

Ia sempat mendirikan orkes Empat Sekawan. Selain itu ia dikenal publik ketika mengisi musik dalam film Terang Bulan.

Ismail Marzuki selama ini diyakini sebagian besar masyarakat Indonesia sebagai pencipta lagu Halo, Halo Bandung yang terkenal. Lagu tersebut menggambarkan besarnya semangat rakyat Bandung dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Namun sebenarnya siapa pencipta lagu tersebut yang sebenarnya masih diperdebatkan oleh sebagian masyarakat Indonesia.

EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM

EVALUASI PENDIDIKAN ISLAM

oleh:
Nurul Husnul Khotimah
Putri Marlina


Pendidikan Islam merupakan pendidikan yang didasarkan pada nilai-nilai ajaran Islam sebagaimana tercantum dalam al-Qur�an dan al-Hadist. Dalam prosesnya, pendidikan Islam menjadikan tujuan sebagai sasaran ideal yang hendak dicapai dalam program dan di proses dalam pendidikan Islam atau output kependidikan Islam. Untuk mengetahui ketercapaian suatu tujuan kegiatan yaitu evaluasi. Dengan evaluasi, maka suatu kegiatan dapat diketahui atau ditentukan taraf kemajuannya. Berhasil atau tidaknya pendidikan Islam dalam mencapai tujuannya dapat dilihat setelah dilakukan evaluasi terhadap output yang dihasilkan. Dengan kata lain penilaian atau evaluasi digunakan sebagai alat untuk menentukan suatu tujuan pendidikan dicapai atau tidak. Atau untuk melihat sejauh mana hasil belajar siswa sudah mencapai tujuannya.
Dalam pendidikan Islam evaluasi merupakan salah satu komponen dari sistem pendidikan Islam yang harus dilakukan secara sistematis dan terencana sebagai alat untuk mengukur keberhasilan atau target yang akan dicapai dalam proses pendidikan Islam dan proses pembelajaran.

A.      Pengertian Evaluasi Pendidikan Islam
Secara harfiah, evaluasi berasal dari bahasa Inggris, evaluation, yang berarti penilaian. Sedangkan dalam bahasa Arab dijumpai istilah imtih�n yang berarti ujian, dan khataman yang berarti cara menilai hasil akhir dari proses kegiatan.
Jadi evaluasi adalah suatu proses dan tindakan yang terencana untuk mengumpulkan informasi tentang kemajuan, pertumbuhan, dan perkembangan (peserta didik) terhadap tujuan (pendidikan), sehingga dapat disusun penilaiannya yang dapat dijadikan dasar untuk membuat keputusan.
Sedangkan evaluasi dalam pendidikan Islam merupakan cara atau teknik penilaian terhadap tingkah laku anak didik berdasarkan standar perhitungan yang bersifat komprehensif dari seluruh aspek-aspek kehidupan mental-psikologis dan spiritual religius. Karena manusia bukan saja sosok pribadi yang tidak hanya bersikap religius, melainkan juga berilmu dan berketerampilan yang sanggup beramal dan berbakti kepada Tuhan dan masyarakatnya.
Evaluasi pendidikan Islam adalah suatu kegitan untuk taraf kemajuan suatu aktivitas  didalam pendidikan Islam. Program evaluasi ini diterapkan dalam rangka mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menyampaikan materi pelajaran, menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan dengan materi, metode, dan fasilitas. Oleh karena itu, yang dimaksud dalam evaluasi pendidikan Islam adalah pengambilan sejumlah keputusan yang berkaitan dengan pendidikan Islam  guna melihat sejauh mana keberhasilan pendidikan yang selaras dengan nilai-nilai Islam sebagai tujuan dari pendidikan Islam itu sendiri. 
Jadi evaluasi pendidikan Islam yaitu kegiatan penilaian terhadap tingkah laku peserta didik dari keseluruhan aspek mental-psikologis dan spiritual religius dalam pendidikan Islam, dalam hal ini tentunya yang menjadi tolak ukur adalah al-Qur�an dan al-Hadist. Dengan pelaksanaan evaluasi ini bukan hanya pendidik juga keseluruhan aspek/ unsur pendidikan Islam.

B.       Tujuan Evaluasi
1.      Mengetahui kadar pemahaman peserta didik terhaap materi pelajaran, melatih keberanian, dan mengajak peserta didik untuk mengingat kembali materi yang telah diberikan, dan mengetahui tingkat prubahan perilaku.
2.      Mengetahui siapa diantara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga yang lemah diberi perhatian khusus agar ia dapat mengejar kekurangannya.
3.      Untuk mengetahui penguasaan peserta didik dalam kompetensi tertentu.
4.      Untuk mengetahui kesulitan belajar peserta didik dan untuk memberikan arah dan lingkup pengembangan evaluasi selanjutnya.

C.      Fungsi dan Kegunaan Evaluasi
Seorang pendidik melakukan evaluasi disekolah mempunyai fungsi sebagai berikut:
1.      Untuk mengetahui peserta didik yang terpandai dan terkurang dikelasnya.
2.      Untuk mengetahui apakah bahan yang telah diajarkan sudah dimiliki peserta didik atau belum.
3.      Untuk mendorong persaingan yang sehat antara sesama peserta didik.
4.      Untuk mengetahui kemajuan dan perkembangan peserta didik setelah pendidikan dan penagajaran.
5.      Untuk mengetahui tepat atau tidaknya guru memilih bahan, metode, dan berbagai penyesuaian dikelas.
6.      Sebagai laporan terhadap orang tua peserta didik dalam bentuk raport, ijazah, piagam, dan sebagainya.

Secara umum ada dua kegunaan evaluasi dalam pendidikan Islam, diantaranya:
1.      Dari segi pendidik, yaitu membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar kearah yang lebih baik.
2. Dari segi peserta didik, yaitu membantu peserta didik untuk dapat mengubah atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar kearah yang lebih baik.

Sementara itu, sasaran evaluasi pendidikan meliputi: peserta didik dan juga pendidik untuk mengetahui sejauh mana ia bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya untuk mencapai tujuan pendidikan Islam.

Sasaran-sasaran evaluasi pendidikan Islam secara garis besarnya melihat empat kemampuan peserta didik, yaitu:
1.      Sikap dan pengalaman terhadap hubungan pribadinya dengan Tuhannya.
2.      Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan dirinya dengan masyarakat.
3.      Sikap dan pengalaman terhadap arti hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya.
4.      Sikap dan pandangannya terhadap diri sendiri selaku hamba Allah SWT, anggota masyarakat serta selaku khalifah-Nya dimuka bumi.

Sistem evaluasi pendidikan Islam, yaitu:
1.      Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai macam problema kehidupan yang dihadapi. Seperti tercantum dalam QS. Al-Baqarah: 155, yang artinya:
�dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar�
2.      Untuk mengetahui klasifikasi atau tingkatan hidup keislaman seseorang, seperti penegvaluasian Allah SWT terhadap Nabi Ibrahim yang menyembelih Ismail putera yang dicintainya.
3.      Untuk mengukur daya kognisi hafalan manusia dari pelajaran yang telah diberikan kepadanya, seperti pengevaluasian terhadap nabi Adam tentang asma-asma yang diajarkan Allah SWT kepadanya dihadapan malaikat seperti tercantum dalam  QS. Al-Baqarah: 31
�dan Dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya, kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman : �sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu memang benar orang-orang yang benar!�

D.      Jenis-Jenis Evaluasi
Jenis-jenis evaluasi yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam adalah:
1.      Evaluasi formatif, yaitu penilaian untuk mengetahui hasil belajar yang dicapai oleh para pesesrta didik setelah menyelesaikan satuan program pembelajaran (kompetensi dasar) pada mata pelajaran tertentu.
2.    Evaluasi sumatif, yaitu evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta didik setelah mengikuti pelajaran dalam satu semester  dan akhir tahun untuk menentukan jenjang berikutnya.
3.    Evaluasi penempatan, yaitu evaluasi tentang peserta didik untuk kepentingan penempatan dalam situasi belajar yang sesuai dengan kondisi peserta didik.
4.    Evaluasi diagnostik, yaitu evaluasi dilakukan terhadap hasil penganalisaan tentang keadaan belajar peserta didik, baik merupakan kesulitan-kesulitan maupun hambatan-hambatan yang ditemui dalam situasi belajar mengajar.

E.       Langkah-Langkah Evaluasi
Secara umum proses pengembangan penyajian dan pemanfaatan evaluasi belajar dapat digambarkan dalam langkah-langkah berikut:
1.      Penentuan tujuan evaluasi
2.      Penyusunan kisi-kisi soal
3.      Telaah atau review dan revisi soal
4.      Uji coba (try out)
5.      Penyusunan soal
6.      Penyajian tes
7.      Penilaian
8.      Pengolahan hasil tes
9.      Pelaporan hasil tes
10.  Pemanfaatan hasil tes